Sabtu, 22 November 2008

Cinta Negara laisa Negara Cinta ( Andai Saja Si Nasrudin Bukan TKI....????)

Klasik dan tetap, bahkan makin asyik. Bukan monopoli satu atau dua golongan, agama, bangsa atau kalangan tertentu. Berlembar kertas, batu, pohon telah dikorbankan untuk mengukir/mengekspresikan soal ini. Cinta. Sejak azalli dulu, dimulai dari bapak moyang kita Adam yang resahnya hilang ketika Tuhan mencipta Hawa. Yusuf Nabi yang memulai jalannya sebagai anak terbuang, dijual sebagai budak, menjadi pembantu Zulaikha, dan endingnya seperti akhir film harapan Penonton, menikah dengan mantan Majikannya sendiri dalam Cinta. Menolak ini, berarti menentang diri sendiri, menghianati Tuhan, karena dengan CintaNYA, kita serta semesta ini ada seperti yang kita nikmati dengan lezat sekarang.


Bukan karena kasmaran atau terlambat akil Baligh kenapa saya menulis tema yang bagi sebagian teman mungkin absurd ini. Bermula dari kasus. Satu kasus, saya mengerti. Dua kasus saya berusaha mengerti alias dimengerti-ngertikan. Kasus ketiga, diikuti kasus-kasus sebangun saya tidak tahan untuk menuangkan keheranan saya dalam tulisan ini, urusan Cinta kok di urusan negara. Jika Saja si Nasrudin Bukan TKI, mungkin kasus ini tidak dianggap bernilai berita untuk diungkap ke publik oleh media negeri seberang, mungkin kisah cintanya takkan terlarang, tidak serumit Romeo dan Juliet, dan terlebih , bisa jadi orang Tua siti Noor fadilah akan memberikan restu atas pernikahan dua sejoli beda bangsa itu.


Soal Restu memang prerogratif orang tua yang bersangkutan, tapi dalam islam dan negara kita kan ada jalan tikusnya , toh bukan orangtuanya yang mau kawin, maka ada wali hakim untuk urusan ini. Tapi urusan jadi sedikit njlimet ketika Negara terlibat dalam urusan Cinta. Sedekat yang saya tahu, baik Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki UUC Undang-Undang Cinta, yang ada Cuma film AADC. Pertanyaan saya, sampai sejauh mana tanggung jawab sebuah negara dalam mengurusi warga Negaranya, apakah masuk juga dalam soal siapa yang boleh dicintai dan boleh dinikahi oleh mereka?. Secara tegas dan terang, Noor Fadilah perempuan warga Malaysia usia 18 tahun, pada 4 September silam turut kekasihnya si Nasrudin mudik, pulang ke kampungnya di Lombok Timur karena masa kerja dan permit yang dipegangnya sudah habis masa berlaku menyatakan bahwa tak ada paksaan, juga tak ada bomoh (guna-guna/pelet, Indonesia) dalam hal ini, semua karena cinta pada pria yang rela membawanya, bahkan dengan cara illegal masuk ke Indonesia sekalipun, bahwa lebih baik ia mati jika tak jadi berkahwin dengan Nasrudin. Si Nasrudi membuatnya jatuh hati karena sangat baik, membiayai kebutuhanya sebagai pacar, sopan dan bertanggung jawab. Setidaknya itu kesan yang ditangkap oleh Nor fadilah, sehingga ia percaya dan mau menyerahkan hidupnya.

Keresahan Jama'ah

Meski di jelaskan begitu oleh sang Anak yang sudah 18 tahun lebih usianya. Oranga Tua Noor Fadiillah, tetap ngotot, melaporkan kasus ini ke PolisiMalaysia sebagai penculikan, kemudian meminta Bantuan Pemerintahnya, Kerajaannya, kemudian juga Barisan Pembela Masyarakta sebuah Organisasi Sayap UMNO (untuk menjelaskan apa UMNO ke Masyarakat, lebih cepat di mengerti ketika saya Bilang, UMNO ini adalah GOLKARnya Malaysia). Singkatnya Model perkawinan ini, Lombok dan Malaysia adalah sebuah ancaman, masalah pelik, bahaya laten, sehingga perlu ditangani secara kolektif, ini adalah keresahan jam'aah yang harus ditnagani bersama dan menjadi tanggung jawab semua fihak.


Kenapa begitu ?.

Apakah perkawinan antar warga malaysia dengan warga bangsa-bangsa selain Indon tidak terjadi ??. Ternyata, mirip mental sebagian orang Indonesia. Warga di sana juga, merasa derajatnya naik sepuluh tingkat, bahwa dia diatas manusia yang lain kalau punya suami atau istri dari Luar Negeri. Namun itu tidak termasuk jika pasangnanya berasal dari indonesia, bersuku Lombok, Buruh Migran lagi. Wah, itu derajat, marwah keluarga terjun bebas mirip balon udara kehabisan Gas.


Meskipun sejarah perkawinan antar bangsa serumpun ini setua sejarah nusantara sendiri, namun sekarang halnya berbeda. Perspektif umum TKI yang berkembang dengan subur di kepala-kepala orang Malaysia sebagai buah propaganda negatif, politik dasamuka pemerintah Malysia dalam kebijakannya memanfaatkan Tenaga Buruh Migran, khususnya Indonesia. Bahwa para Buruh Asal indonesia ni, mat indon ni kat negarenya hanya boleh makan Ubi, nasi Jagung, minum pun dari air telaga, pelaku bomoh, pelaku jenayaah.


Teman saya seorang Malaysia, katanya tanpa bermaksud membela negaranya, bilang ke saya bahwa masalah sebenarnya adalah restu tak mau dibgai kerana cara mereka yang lari kawin ini tidak sesuai dengan adat dan agama Malaysia, sehingga orang tua tak mau bagi restu, orang tua tak sanggup berpisah dari anak yang nak kahwin di negeri seberang, dan yang paling terang bendernag namun disembunyikan dengan transparan dalam dada mereka adalah, ketakutan anak gadis mereka tidak akan bahagia, miskin , kawin sama kelas Buruh negeri seberang itu.


Tapi kebhagaian itu semu, intangable, ada dalam qalbumu, dia bukan materi fisik yang bisa dukur meteran, ditimbang beratnya, ditakar kadarnya sekian karat, bilangan yang diprosentasekan. Dalam suatu kesempatan, saya membantu kedutaan mereka untuk mencari dan memulangkan seorang perempuan warga mereka yang juga cinlok sama TKI kita, saya katakan, jika soal perkawinan sejensi ini diurus, maka Pemerintah Malaysia perlu menyiapan satu kapal besar untuk memulangkan warganya bersama anak pinaknya yang telah lama secara damai sentausa tinggal di khususnya pulau Lombok ini.


Dan kenapa, meskipun mereka memandang rendah kita. Tetap saja banyak gadis malaysia Jatuh hati pada buruh ini. Karena mereka adalah pria dari jenis yang memang layak untuk di impikan, punya tanggung jawab dan kepribadian yang dibutuhkan oleh perempaun yang inginkan kebahagaiaan, menginginginkan surag di bumi yang dititipkan Tuhan dalam bentuk Keluarga sakinah Mawaddah warrahmah. Supardi, empat tahun menjadi Buruh di negeri Jiran itu, dan setiap bulannya 1/3 bahkan ½ dari gajinya , bahkan tak jarang ¾ , diberikan untuk menyantuni keluarga Malaysia. Bukan untuk bergaya, tapi kasihan meliat kondisi keluarga itu yang jauh dibawah standard kehidupan mereka di Indonesia. Begitu juga Yusuf, begitu juga amin dan lain-lain. Meski,berarti tidak ada yang melakukan trik kuno itu untuk mendapatkan hati gadis-gadis. –(bersambung).
Roma Hidayat

Secangkir Cappucino menemani Dendam

Jakarta, 19 November 2008
1:41 am


Apa yang membuat aku bisa bertahan?
kekesalan sering memenuhi hati ini. Bahkan semuanya, setiap saat, setaip detik membuat aku kesal. Kepahitan selalu terasa, kepediahan selalu menguasai jiwa. Entah?
Kerinduan ini menjadi benci. Kebencian ini membuatku merindukannya, aku ga habis pikir menagapa aku harus bertahan.
Kebencian ini suatu ancaman, merapuhnya pikiran dan raga ini.
Mendingan aku bikin Cappucino dulu deh, sebelum aku bisa meluapkan semuanya..

Nah, yang sedang aku pikirin mengapa aku harus beresah hati seperti ini,,
Susah?, marah?, kesal?, dendam? Keseharian ini yang aku rasakan setiap hari sejak aku mengenal hidup, mengenal teman, mengenal cinta dan sejak aku mengenal system di negeri ini.
Memang ga banyak yang bisa aku ungkapkan, terhadap hidup ini, terhadap teman, terhadap cinta. Macam mimpi buruk saja aku mengingatnya, sejak aku mengenal hidup ini, sejak aku mengenal teman, sejak aku mengenal cinta.

Terus ,,
Apa yang membuat aku bisa bertahan?
Sejak aku menjadi buruh yang bekerja di negeri orang, atau yang dikenal orang “TKI”, dan atau yang akrab sekali di otak ini, dan hati ini, yaitu Buruh Migran., kehidupan susah, marah, kesal, dendam, bahkan airmata pun mengiringi kehidupanku seiring aku menjalani kehidupanku menjadi Buruh Migran.

Huhf! Gila Jakarta yang panas ini membuat tubuhku kedinginan malam ini. Tapi,. otak, hati, panas!
Dingin malam ini ga bisa menembus ruang otak dan hati ini. Panasssssssssssss!!!!

Ingin rasanya merebahkan badan, melepas keresahan, pun tetap mata ga bisa terpejam.

Seperti yang biasa aku lakukan, tersenyum, tertawa, bercanda dengan teman, walaupun hati ini menaruh pertanyaan, keresahan, kegelisahan, amarah, bahkan dendam dengan kehidupan. Setidaknya teman-temanku yang sekarang mempunyai permasalahan yang sama, tetapi mengapa aku harus berlarut- larut mengalaminya, menghadapinya, kadang terpikir kehidupan ini unfair!. Aku mencoba lari dari kenyataan.
Aku berusaha untuk tetap tersenyum. Lalu ..

Apa yang membuat aku bisa bertahan?
Aku telusuri lagi, dari awal rasa susah ini, rasa marah ini, rasa kesal ini, rasa dendam ini,,
Ketidakberdayaanku yang membuat aku bertahan.
Apakah aku sanggup menjalaninya,,???
Rahasia…